Di tengah serbuan hero EVOS Sg, RRQ Lemon alias Muhammad Ikhsan masih bisa meloloskan diri. Dia bahkan mampu menjungkalkan beberapa hero lawan tanpa bantuan siapapun dalam salah satu laga M2 Mobile Legends World Championship 2021 tersebut.
Lemon adalah fenomena di esports Indonesia. Orang-orang menjulukinya sebagai alien dan ini bukan omong kosong belaka. Sebagai atlet epsorts, Lemon memang memiliki skill yang tak biasa. Prestasi? Jangan tanya, sudah sederet gelar yang dia raih.
Semua itu jadi rangkuman pas soal bagaimana esports mengubah wajah video game. Secara perlahan esports berhasil menyulap game yang selama ini identik dengan kegiatan senang-senang belaka menjadi ajang ajang unjuk prestasi, seperti yang Lemon tunjukkan.
Jika kemudian muncul rencana membawa esports ke sekolah-sekolah, ini jelas ada kaitannya dengan hal tersebut. Terlebih, esports adalah industri miliaran dolar dan sudah muncul di beberapa kejuaraan olahraga. Audiensnya saja diprediksi mencapai 276 juta orang pada 2022 mendatang.
Pada 2019, Imam Nahrawi yang kala itu menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga (Menporta) juga pernah mengusulkan ide ini. Di hadapan awak media dia bilang, “Kami akan bekerja sama dengan Kemendikbud agar di masing-masing sekolah terfasilitasi betul [pembelajaran esports].”
“Belajar [permainan] digital bisa membentuk kepribadian yang kuat, saling menghargai, menghormati, dan tentu saling bekerja sama. Makanya kalau ada yang mengatakan esports bukan bagian olahraga, saya kira itu perlu saya luruskan,” ujar Nahrawi.
Saat Menpora mengungkapkan hal tersebut, beberapa sekolah sebetulnya sudah berupaya membawa esports sebagai ekstrakurikuler mereka. SMA 1 PSKDyang terletak di Jakarta Pusat dan Bina Bangsa School (BBS) adalah dua di antaranya.
Walau begitu, tetap saja, membawa esports ke sekolah bukan hal mudah. Ada tantangan tertentu yang mesti diperhatikan. Pengamat pendidikan dari Universitas Multimedia Nusantara, Doni Koesoema, bahkan sempat menentang rencana ini.
“Gim online sebagus apa pun merupakan permainan yang menjauhkan anak-anak dari dunia nyata dan interaksi sosial,” ujar Doni, dilansir Antara. “Yang diperlukan anak Indonesia adalah olahraga sungguhan. Karena menjadi amanat revolusi mental pendidikan, melalui Perpres penguatan pendidikan karakter,” ujar dia.
Selain gagasan Doni, ada beberapa hal yang membuat upaya membawa esports ke sekolah sulit terealisasi. Apa saja?
Stigma terkait game yang masih buruk
Di hadapan sebagian orang tua, yang jadi masalah terkait esports bukan soal aspek olahraganya yang masih abu-abu. Ini tentang arena bermainnya. Dalam hal ini, video game. Yup, stigma game masih buruk di sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya orang tua.
Di tengah kondisi itu, rentetan berita negatif terkait game dan gamer terus berdatangan. Pada 2020, misalnya, seorang pemuda asal Malang membunuh kawannya karena video game. Di Cimahi lain lagi, seorang siswa terpaksa masuk Rumah Sakit Jiwa karena kecanduan game tingkat akut.
Esports bukan sekadar main game
Secara praktek, sangat mudah membawa esports masuk ke sekolah. Selama ada alatnya (smartphone, PC, konsol), ia bisa berjalan. Tinggal atur jadwal, mau berapa kali pertemuan dalam seminggu, mau game apa, dan sebagainya. Selesai. Esports masuk sekolah.
Namun, esports tak sesederhana itu. Olahraga ini bukan sekadar main game. Tiap sekolah yang hendak menerapkannya mesti paham betul bahwa esports tak dirancang untuk sekadar bersenang-senang. Ada aspek kompetitif dan olahraga di dalamnya.
Esports bukan olahraga yang murah
Esports bukan aktivitas yang murah. Ini sudah pasti. Harga PC Gaming standar bisa mencapai Rp10 juta per unitnya. Itu salah satu yang termurah. Kalau konsol, meski lebih terjangkau, tetap tergolong sebagai barang mahal. Smartphone juga demikian.
Oleh karena itu, butuh investasi yang besar bagi sekolah jika hendak menghadirkan esports. Belum lagi soal internetnya, maintenance, dan lain-lain. Pilihan paling masuk akal adalah menggunakan smartphone siswa masing-masing, tetapi ini bakal menimbulkan masalah lain.
Butuh rencana yang jelas dari pemerintah
Mustahil hanya mengandalkan sekolah masing-masing untuk coba menghadirkan epsorts untuk para siswa. Pemerintah juga mesti memberikan dukungan. Pertama-tama membantu melepas stigma negatif terkait game, berikutnya merancang rencana yang jelas dan terarah.
Apakah esports dihadirkan ke sekolah cuma untuk olahraga rekreasi? Atau memang ditujukan guna menghadirkan bakat-bakat esports anyar? Apapun itu, rencana jelas sangat perlu, sesuatu yang sejak dua tahun setelah Menpora mengatakannya belum juga terlihat.
Terlepas dari pemerintah, pihak-pihak lain seperti tim esports profesional, influencer, hingga penyelenggara turnamen esports juga mesti terlibat, setidaknya untuk membantu menghapus stigma negatif video game. Biar bagaimana, membawa esports ke sekolah adalah langkah positif jika dilakukan secara tepat dan benar.
***
Beli top up voucher game terlengkap, harga murah dan pengiriman cepat hanya di itemku. Nikmati pengalaman belanja berbagai voucher game yang lebih murah dengan penawaran diskon spesial dari itemku, khusus untuk kamu.
Gabung bersama ratusan gamer lainnya di forum itemku untuk berdiskusi seputar dunia game yang lebih seru!