Jika hari ini kamu melihat industri game Indonesia kian berkembang, boleh jadi ada peran Asosiasi Game Indonesia (AGI) di baliknya.
AGI, yang berdiri pada 2013, memang muncul sebagai upaya mengembangkan industri game lokal. Aktivitasnya mencakup perkara teknis seperti animasi hingga ranah esports seperti gamer profesional.
Idenya adalah mengajak para developer dan publisher berjalan bersama dalam lingkup organisasi. Sekitar 20 perusahaan game yang kala itu bergabung di sana. Mulai dari Lyto, Agate, hingga Megaxus.
“Publisher membeli game-game luar dan mempromosikannya di Indonesia, tapi game lokal Indonesia sendiri malah dibeli oleh publisher diluar negeri,” ujar Andy Suryanto, Direktur Lyto yang kala itu ditunjuk sebagai ketua AGI.
“Dengan adanya AGI ini kami berharap pelaku industri game berkumpul untuk menata dan mengatasi masalah yang dihadapi bersama serta meningkatkan pengembangan industri game Indonesia di masa depan,” sambungnya.
Pada 2013 jumlah gamer di seluruh dunia menyentuh angka 1,3 miliar orang. Karena kala itu populasi dunia mencapai 7 miliar, berarti sekitar 17% di antaranya adalah gamer.
Angka tersebut jadi bukti bahwa potensi industri game sangat besar. Itulah kenapa salah satu langkah pertama yang akan AGI tempuh adalah meyakinkah pemerintah soal urgensi industri game.
”Semakin berkembangnya industri game di Indonesia memberikan pemasukan yang cukup besar bagi Negara, dari industri Game Online sendiri kurang lebih menghasilkan 500 Milyar pertahunnya,” ujar Andy.
Bagaimana perkembangan industri game Indonesia sejauh ini?
Pemerintah membentuk Badan Ekonomi Kreatif atau Bekraf (kini Baparekraf) pada 2015. Ini mencakup industri kreatif, termasuk game. Jadi, inilah perpanjangan tangan pemerintah dalam mencapai misi serupa Asosiasi Game Indonesia.
Sejak berdiri Bekraf kerap menggelar pameran game lokal. Ada Developer Day hingga Bekraf Game Prime. Khusus yang terakhir, Bekraf rutin menggelarnya, setidaknya setahun sekali.
Tujuannya satu: Pemerintah ingin para pelaku game Tanah Air tergerak untuk secara aktif menghasilkan karya yang pada akhirnya memperbanyak jumlah developer game di Indonesia.
Upaya itu penting sebab memang ada masalah dari segi kuantitas. Bahkan meski rutin digelar, perubahannya tak signifikan. Kontribusi pengembang lokal hanya 5 persen pada 2017, turun dari 9,5 persen pada 2015.
Ada sedikit peningkatan pada 2018. Misalnya, jumlah pendaftar Bekraf Game Prime mencapai 100 developer yang 50 di antaranya terpilih untuk mengikuti agenda tahunan tersebut.
Namun, itu belum sejalan dengan target pemerintah. Hari Sungkari yang kala itu menjabat sebagai Deputi Infrastruktur Bekraf mengatakan, persentase kontribusi developer tak bertambah sebab pasar yang terus membesar.
Di sisi lain, serbuan game-game impor semakin gencar, terutama memasuki era smartphone. PUBG Mobile, Free Fire, Mobile Legends, hingga Among Us adalah sederet game impor yang jadi favorit gamer belakangan ini.
“Problemnya sekarang apa yang dihasilkan seolah ada jarak dengan kebutuhan industri,” kata Hari dalam sambutannya di Bekraf Game Prime 2018.
AGI juga mengungkapkan hal serupa. Mereka menilai developer di Indonesia masih perlu diperbanyak lagi. Walau begitu, AGI menyebut bahwa dari segi kualitas karya developer lokal punya potensi bersaing.
Klaim itu sejalan dengan prestasi yang belakangan ini muncul. Pada Tokyo Game Show (TGS) 2020, Mojiken Studio meraih tepuk tangan berkat A Space For The Unbound yang mendapat penghargaan Best Art dan Grand Prix.
Di helatan serupa, Khayalan Arts mencuri perhatian lewat trailer game Samudra. Berikutnya ada Agate Studio yang memperkenalkan Tirta, game bernuansa lokal yang rencananya hadir di PlayStation 5.
Yang kita lihat di sana adalah potensi yang memang amat besar. Tapi sebagaimana yang diungkapkan Bekraf, masih banyak yang perlu dibenahi, dan ini pekerjaan mereka, juga AGI. Tugas kita para gamer adalah terus mendukung.